Salah satu karakter yang dimiliki oleh Islam sebagai agama adalah syumul . Arti dari istilah yang tentunya berasal dari bahasa Arab ini adalah bahwa Islam menjadi pedoman hidup yang memberikan pedoman untuk melakukan segala aktivitas kita sejak bangun tidur hingga tidur, sejak pagi hingga pagi baru datang. Bimbingan ini selalu relevan dengan kehidupan manusia tanpa mengenal waktu atau tempat, karena nilai Islam bersifat universal dan abadi.
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Dan Kami turunkan kepadamu, ya Muhammad, Kitab yang sebenarnya, membenarkan apa yang mendahuluinya dari Kitab Suci dan sebagai pembeda di atasnya. Maka putuskanlah di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti kecenderungan mereka dari kebenaran yang telah datang kepadamu. Kepada kamu masing-masing telah Kami tetapkan hukum dan tata cara…” (Al-Maidah: 48)
Islam mengatur setiap aspek dalam kehidupan kita, seperti ibadah (hubungan kita dengan Allah) dan muamalah (hubungan kita dengan sesama), dan juga setiap bidang, seperti pendidikan, politik, kesehatan, dan bisnis. Dan salah satu bidang yang cukup dekat dengan aktivitas kita sehari-hari adalah ekonomi.
Kegiatan ekonomi dilakukan oleh setiap orang karena tidak perlu memiliki pendidikan tinggi di dalamnya. Peristiwa sederhana seperti jual beli termasuk kegiatan ekonomi dan muamalah sekaligus. Itu sebabnya ekonomi dalam Islam diperlukan serta aspek-aspek lain dalam kehidupan kita.
Artikel ini akan memakan banyak halaman jika membahas seluruh hukum Islam dalam ekonomi. Karena dalam Islam, setiap hal diatur secara rinci. Itulah sebabnya topik yang disajikan di sini berfokus pada hukum Islam mengambil keuntungan, salah satu hal yang umum dalam kehidupan sehari-hari.
Laba adalah penyimpangan antara harga beli dan harga jual. Meskipun mengambil untung sering dikaitkan dengan penjual sebagai subjek, pembeli juga harus memahami hukum di dalamnya. Jual beli adalah kegiatan bilateral yang melibatkan dua pihak, sehingga mereka harus mengetahui tugas dan hak masing-masing.
Menurut para cendekiawan Muslim, ada beberapa hukum Islam tentang mengambil keuntungan yang tidak diragukan lagi layak untuk dipahami.
- Islam tidak membatasi dalam hal mengambil keuntungan selama penjual tidak menipu pembeli. Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin mengemukakan bahwa tidak ada batasan keuntungan yang pasti karena merupakan bagian dari nikmat Allah.Keuntungannya bisa 10%, 20%, 25%, atau lebih dari itu jika tidak ada cheat di dalamnya. Dalam beberapa kasus, Allah memberikan berkah yang besar kepada seseorang sehingga dia bisa mendapatkan keuntungan 100 atau lebih hanya dengan modal 10.
عَنْ عُرْوَةَ الْبَارِقِيِّ، قَالَ دَفَعَ إِلَىَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم دِينَارًا لأَشْتَرِيَ لَهُ شَاةً فَاشْتَرَيْتُ لَهُ شَاتَيْنِ فَبِعْتُ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجِئْتُ بِالشَّاةِ وَالدِّينَارِ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم . فَذَكَرَ لَهُ مَا كَانَ مِنْ أَمْرِهِ فَقَالَ لَهُ “ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي صَفْقَةِ يَمِينِكَ ” . فَكَانَ يَخْرُجُ بَعْدَ ذَلِكَ إِلَى كُنَاسَةِ الْكُوفَةِ فَيَرْبَحُ الرِّبْحَ الْعَظِيمَ فَكَانَ مِنْ أَكْثَرِ أَهْلِ الْكُوفَةِ مَالاً
“Diceritakan ‘Urwah al-Bariqi: Rasulullah (saw) memberi saya dinar untuk membeli seekor domba untuknya. Maka aku membeli dua ekor domba untuknya, dan aku menjual salah satunya seharga satu Dinar. Jadi saya kembali dengan domba dan Dinar kepada Nabi (saw), dan saya menyebutkan apa yang telah terjadi dan dia berkata, ‘Semoga Allah memberkati Anda dalam urusan bisnis Anda.’ Setelah itu kami pergi ke Kunasah di Al-Kufah, dan dia mendapat untung besar. Dia termasuk orang terkaya di Al-Kufah.’” (at-Tirmidzi)
Pernyataan lain dari Prof. Dr. Sulaiman Alu Isa, guru besar King Saud University. Dijelaskannya, tidak masalah memperoleh keuntungan dari barang, selama itu bukan makanan karena dikategorikan ihtikar atau menimbun. Islam melarang kita untuk menimbun makanan dan menjualnya dengan harga tinggi, terutama lebih tinggi dari harga pasar.
Dia berkata bahwa saya datang ke Ya’la bin Umayya, dan dia berkata bahwa Rasulullah, semoga Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, berkata: “Monopoli makanan di tempat suci adalah ateisme.”
“Diriwayatkan oleh Ya’la bin Umayyah bahwa Nabi (saw) berkata, ‘Menimbun makanan (untuk menjualnya dengan harga tinggi) di wilayah suci adalah penyimpangan (dari benar ke salah).’” (Sunan Abu Dawud)
Wajar jika seseorang menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Tapi, itu bisa terjadi dalam suatu kondisi. Penjual harus memberitahukan fakta atau kondisi yang sebenarnya kepada pembeli bahwa harganya berbeda dengan harga pasar, dalam hal ini lebih tinggi.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan hartamu di antara kamu dengan sia-sia, kecuali kamu adalah seorang pedagang
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta satu sama lain secara zalim, melainkan hanya dalam urusan yang halal dengan kesepakatan bersama…” (An-Nisa: 29)
Jika pembeli setuju dengan harga yang ditetapkan oleh penjual, maka boleh dan tidak melanggar syariat Islam, karena ada kesepakatan dan kejujuran antara kedua belah pihak. Penjual berpeluang memperoleh manfaat kejujuran dalam Islam dan juga keutamaan kejujuran . Sebaliknya, jika penjual menyembunyikannya, berarti dia telah menipu pembeli, yang tidak diperbolehkan dalam Islam.
Atas wewenang Hakim Bin Hazam, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Al-Bayan dengan pilihan bukanlah apa yang tidak dia bagi, maka jika kita telah diberi, maka mereka akan diberkahi.
“Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah bersabda, ‘Dua pihak yang bertransaksi memiliki pilihan selama mereka tidak berpisah. Jika mereka jujur dan terbuka, transaksi mereka akan diberkati, tetapi jika mereka berbohong dan menyembunyikan sesuatu, berkah dari transaksi mereka akan hilang.’” (Sunan an-Nasa’i)
Meskipun tidak ada jumlah tertentu dalam pengambilan keuntungan, penjual dianjurkan untuk memudahkan usaha umat Islam lainnya dengan menentukan harga berdasarkan harga pasar dan tidak mengambil keuntungan dari kecerobohan pembeli.
Allah akan memberikan lebih banyak pahala untuk tindakan semacam itu. Di sisi lain, pembeli juga harus mengetahui harga pasar agar tidak tertipu.
Dan masing-masing dinilai menurut apa yang telah mereka kerjakan, dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.
“Mereka masing-masing akan diberi peringkat sesuai dengan perbuatan mereka. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Al-An’am: 132)
Dalam berbisnis, terutama dalam mencari keuntungan, hal yang harus diingat adalah kita menerapkan prinsip- prinsip sistem ekonomi Islam dan tidak menjadikan materi sebagai orientasi kita. Sebaliknya, ambillah sebanyak yang kita butuhkan sebagai cara bijak untuk mendapatkan berkah dari Allah . Mungkin kita bisa membohongi manusia, tapi Allah tahu semua yang kita lakukan.